KETENTUAN DIRECT LICENSING DI INDONESIA DAN DI BEBERAPA NEGARA

direct licensing

Perkembangan industri musik Indonesia tidak terlepas dari pentingnya penghormatan terhadap hak cipta. Dalam era digital, sistem direct licensing (lisensi langsung) menjadi opsi yang semakin populer bagi pencipta untuk menjaga kontrol atas karyanya. Namun, sistem ini juga berpotensi menimbulkan sengketa jika tidak dipahami secara benar oleh para pelaku industri.

Salah satu kasus besar yang menyita perhatian publik adalah sengketa antara musisi Ari Bias dan artis ternama Agnez Mo, terkait penggunaan lagu tanpa izin langsung. Kasus ini tidak hanya menyoroti pentingnya lisensi dalam hak cipta, tetapi juga memberikan pembelajaran berharga mengenai penerapan direct license dalam praktik.

Apa Itu Direct License dalam Hak Cipta?

Direct license adalah bentuk perjanjian lisensi hak cipta yang dilakukan langsung antara pemilik hak cipta dengan pengguna karya tanpa melalui lembaga manajemen kolektif seperti LMKN, WAMI, KCI, atau LMK lainnya

Dalam sistem ini, pencipta atau pemegang hak cipta memiliki kendali penuh untuk memberikan izin penggunaan karya kepada pihak lain, baik secara eksklusif maupun non-eksklusif dan dapat bernegosiasi langsung dengan pihak yang ingin menggunakan karyanya, menetapkan besaran royalti, dan menyusun syarat-syarat penggunaan.

Menurut Pasal 80 ayat (1) UU Hak Cipta memberikan hak kepada pemegang hak cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian tertulis. Namun, perlu dicatat bahwa ada juga pengaturan terkait Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN yang menjadi perantara dalam pengelolaan hak cipta, khususnya dalam hal royalti.

Latar Belakang Kasus Agnes Mo dan Ari Bias

Kasus pelanggaran hak cipta antara Agnez Mo dan Ari Bias terkait penggunaan lagu “Bilang Saja” menyoroti pentingnya direct licensing dalam industri musik. Pengadilan memutuskan Agnez Mo telah melakukan pelanggaran Hak Cipta karena telah menggunakan secara komersil lagu ciptaan Penggugat “Bilang Saja” pada tiga konser tanpa seizin Penggugat selaku pencipta. Kasus ini juga memicu diskusi tentang penerapan hukum hak cipta dan tanggung jawab dalam pembayaran royalti. Penyanyi Agnez Mo telah menyanyikan lagu “Bilang Saja” ciptaan Ari Bias pada tiga konser musik yang berlangsung di Surabaya (25 Mei 2023), Jakarta (26 Mei 2023), dan di Bandung (27 Mei 2023) yang diselenggarakan oleh PT Aneka Bintang Gading selaku event organizer ketiga konser musik tersebut.

Setelah ketiga konser tersebut berakhir, Ari Bias menghubungi manager Agnez Mo guna menanyakan perihal ketiadaan izin/lisensi dari Ari Bias kepada Agnez Mo untuk menyanyikan lagu ”Bilang Saja” ciptaannya. Ari Bias menyatakan telah menerapkan sistem direct licensing atas lagu-lagu ciptaannya. Atas dasar Agnez Mo tidak memperoleh izin/lisensi dari Ari Bias, maka Agnez Mo dianggap telah melakukan pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Selanjutnya Ari Bias mengutip pernyataan Lembaga Manajemen Kolektif nasional (LMKN) pada tanggal 28 Maret 2024 bahwa LMKN tidak pernah memberikan izin dalam bentuk apapun kepada Agnez Mo atas penggunaan lagu ciptaan Ari Bias tersebut.

Ari Bias akhirnya mensomasi Agnez Mo dan PT Aneka Bintang Gading selaku penyelenggara konser musik tersebut pada tanggal 19 April 2024 dan tanggal 2 Mei 2024. Menurut Ari Bias dalam surat gugatannya, PT Aneka Bintang Gading secara langsung menegaskan kepada Ari Bias bahwa ”semua pembayaran dan termasuk penggunaan lisensi atau meminta izin Penggugat ciptaan secara komersial dalam ketiga pertunjukan tersebut telah diserahkan kepada Agnez Mo”.

Kemudian, Ari Bias mengajukan gugatan perdata khusus pelanggaran hak cipta terhadap Agnez Mo selaku tergugat dan PT Aneka Bintang Gading selaku turut tergugat ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 11 September 2024. Dalam gugatannya, Ari Bias mendalilkan Agnez Mo telah melakukan pelanggaran hak cipta atas dasar telah mempertunjukkan lagu ciptaan “Bilang Saja” dalam tiga konser-konser musik tanpa izin sebelumnya dari Ari Bias. Ari Bias kemudian menuntut pembayaran uang ganti rugi dari Agnez Mo yang besarannya merujuk ke ketentuan pidana Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.

Apakah Penggunaan Lagu Harus Izin Pencipta?

Dalam Undang-Undang Hak Cipta, setiap penggunaan ciptaan harus memperoleh izin dari penciptanya atau pemegang hak ciptanya berdasarkan Pasal 9 ayat 2 & 3 berbunyi :

Ayat 2

“Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”

Ayat 3

“Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan”

Di sisi lain, UU Hak Cipta mengatur pengecualian dalam hal penggunaan komersial ciptaan dalam pertunjukan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta dan                             yang menyatakan :

“Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”

Penjelasan Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta

“Yang dimaksud dengan ‘imbalan kepada Pencipta’ adalah Royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif.”

Apakah ada pertentangan antara Pasal 9 ayat (2) & (3) UU Hak Cipta dan Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta? 

Tidak ada, karena meskipun penggunaan ciptaan harus memperoleh izin, namun Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta memberi pengecualian bahwa dalam hal penggunaan ciptaan dalam pertunjukan, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta, setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dengan membayar imbalan (royalti) kepada pencipta lagu melalui LMKN. Hal ini merupakan hak yang diberikan oleh UU Hak Cipta kepada pelaku pertunjukan untuk dapat menyanyikan lagu ciptaan dengan kemudahan izin melalui pembayaran royalti. Dalam hal ini, UU Hak Cipta melindungi hak pencipta lagu, namun tanpa meniadakan hak atau memberatkan penyanyi/pelaku pertunjukan.

UU Hak Cipta Tidak Mengenal Sistem Direct Licensing

Dalam kasus Agnez Mo di atas, Ari Bias menyatakan telah menerapkan sistem direct licensing atas lagu-lagu ciptaannya. Dikutip dari laman ASCAP, direct license adalah perjanjian lisensi langsung antara pencipta, pemilik, atau pemegang hak cipta dengan pengguna karya tanpa perantara seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau pihak ketiga lainnya.

Ada beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa UU Hak Cipta tidak menggunakan sistem direct licensing yaitu Pasal 87 UU Hak Cipta yang menyatakan :

  • Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.
  • Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif
  • Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan. 
  • Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/ atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur pembayaran royalti untuk para pencipta lagu di Indonesia dengan menggunakan sistem kolektif yang disalurkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sistem Kolektif ini disebut blanket licensing. Sistem ini memungkinkan pengguna untuk menggunakan ciptaan tanpa izin individu dari pencipta dengan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (“LMK”).

UU Hak Cipta menciptakan sistem bahwa di antara pencipta dan pengguna ciptaan ada lembaga perantara yang disebut sebagai Lembaga Manajemen Kolektif/LMK dan Lembaga Kolektif Manajemen Nasional/LMKN, yang mewajibkan pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggotanya agar dapat menarik imbalan dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial. Dengan sistem ini menutup kemungkinan dilakukannya direct licensing karena praktik tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Hak Cipta.

Praktik Direct Licensing tersebut dapat dianggap pelanggaran karena bertentangan dengan sistem pengelolaan kolektif yang ditetapkan dalam Undang-Undang Hak Cipta dan peraturan pelaksanaannya, yang mewajibkan pengguna untuk membayar royalti melalui lembaga seperti LMKN untuk penggunaan komersial di layanan publik. Pasal-pasal yang relevan yang menjadi dasar ketentuan ini adalah Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta (sistem LMKN untuk layanan publik komersial), yang memperkuat kewajiban penggunaan sistem kolektif untuk penarikan royalti, seperti yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 56 Tahun 2021. 

Hal ini diperkuat dalam Pasal 12 PP No. 56 Tahun 2021, bahwa LMKN melakukan penarikan royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait yang sudah menjadi anggota LMK maupun yang belum menjadi anggota LMK

Pasal 12 PP No. 56 Tahun 2021

  1. LMKN melakukan penarikan Royalti dari Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK
  2. Selain melakukan penarikan Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LMKN menarik Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMK.

Demikian pula, Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta; Pasal 3 PP No. 56 Tahun 2021, Pasal 10 PP No. 56 Tahun 2021 menunjukkan bahwa izin dari pencipta maupun pembayaran royalti kepada pencipta harus melalui LMKN.  

Namun pada faktanya, dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual, perjanjian lisensi menjadi penting untuk memberikan hak penggunaan, pemanfaatan dan pendistribusian dari pemberi izin/pencipta/pemegang hak kepada penerima izin/pelaku pertunjukkan atas objek Kekayaan Intelektual tersebut. Melalui prosedur perizinan yang ada, para pelaku pertunjukkan dapat menggunakan, mendistribusikan, dan/atau memanfaatkan objek kekayaan intelektual sehingga bermanfaat bagi para pihak berdasarkan kesepakatan dalam suatu perjanjian lisensi. Eksistensi perjanjian ini digunakan oleh pencipta/pemegang hak cipta sebagai strategi untuk mengoptimalkan nilai dari aset yang dimilikinya.

Kedudukan perjanjian lisensi di Indonesia adalah sah sepanjang jenis perjanjian innominaat ini tidak bertentangan atau kontradiktif terhadap ketentuan hukum positif yang berlaku, tidak bertentangan dengan norma kesopanan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hal ini juga sejalan dengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta bahwa perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan yang merugikan roda perekonomian negara serta tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia. 

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur tentang Asas Pacta Sunt Servanda (perjanjian mengikat seperti undang-undang) yang menjadi dasar dari direct licensing hak cipta di Indonesia. Asas ini berarti semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun, mengingat saat ini Indonesia menganut sistem kolektif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, oleh karena itu, Direct Licensing belum dapat diberlakukan di Indonesia.

Dengan diberlakukannya Direct Licensing akan memunculkan masalah baru dimana potensi terjadinya penarikan ganda royalti. Meski seorang pencipta lagu telah menjalin kesepakatan lisensi langsung dengan pengguna, pengguna tetap bisa dimintai pembayaran oleh LMKN melalui mekanisme blanket licensing model yang mengenakan biaya tunggal untuk akses terhadap seluruh katalog lagu yang terdaftar di bawah LMKN. Jika praktik tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum, kerancuan administrasi dan ketidakadilan distribusi royalti.

Bagaimana sistem Direct Lisence di Asia dan Eropa? 

Hak cipta memberikan perlindungan hukum kepada pencipta dan pemegang hak untuk mengontrol serta menentukan bagaimana karya mereka dimanfaatkan. Dalam praktik internasional, salah satu mekanisme pemanfaatan hak cipta adalah melalui direct license, yaitu pemberian izin penggunaan karya secara langsung dari pemegang hak kepada pihak pengguna tanpa melalui lembaga manajemen kolektif atau collective management organization (CMO). Penerapan direct license bervariasi di setiap negara, bergantung pada sistem hukum dan kebijakan nasional yang berlaku.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, Pemilik hak cipta dapat memberikan izin langsung kepada pengguna tanpa melalui lembaga kolektif seperti ASCAP (American Society of Composers, Authors and Publishers) dan BMI (Broadcast Music, Inc.), dimana dasar legalitasnya bertumpu pada U.S. Copyright Act of 1976, yang mengakui eksistensi dan keabsahan kontrak lisensi langsung antara pemilik hak dan pengguna. Bahkan, peraturan pengadilan federal (consent decrees) mengatur bagaimana ASCAP dan BMI tidak dapat menghalangi praktik direct licensing ini. Fleksibilitas tersebut justru menjadi kekuatan adaptif terhadap perubahan industri digital.

Inggris

Di Inggris, direct licensing juga diakomodasi secara hukum melalui regulasi dan kebijakan yang berlaku dalam sistem pengelolaan hak oleh PRS for Music (Performing Right Society for Music) yang merupakan organisasi manajemen kolektif utama, ia tidak memonopoli hak cipta para anggotanya. Jadi, meskipun lisensi umum untuk pemutaran musik di tempat publik tetap dikelola oleh PRS for Music, pemegang hak dapat membuat perjanjian langsung dengan broadcaster seperti BBC atau ITV. Hal ini merujuk pada Copyright, Designs and Patents Act 1988, serta prinsip-prinsip dalam Code of Conduct for Collecting Societies yang diterapkan oleh Intellectual Property Office UK.

Uni Eropa

Uni Eropa melalui DIRECTIVE (EU) 2019/790 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 17 April 2019 on copyright and related rights in the Digital Single Market and amending Directives 96/9/EC and 2001/29/EC menegaskan bahwa pemegang hak cipta memiliki kebebasan untuk memberikan lisensi langsung kepada pengguna. Contohnya, publisher musik besar seperti Sony Music Publishing atau Universal Music Publishing sering kali memberikan lisensi langsung kepada platform seperti Spotify dan YouTube agar dapat menggunakan karya musik mereka dengan lebih fleksibel.

Article 18 

  • Member States shall ensure that where authors and performers license or transfer their exclusive rights for the exploitation of their works or other subject matter, they are entitled to receive appropriate and proportionate remuneration. 
  • In the implementation in national law of the principle set out in paragraph 1, Member States shall be free to use different mechanisms and take into account the principle of contractual freedom and a fair balance of rights and interest.

Di Jerman, GEMA memang memiliki peran dominan, tetapi pengadilan mengakui bahwa pemegang hak tetap berhak memberikan lisensi langsung, terutama bagi artis independen yang ingin bekerja sama dengan label atau penyelenggara konser.

Australia

Sementara itu, Australia memberikan preseden yang paling progresif. Pemerintah Australia melalui Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) memberlakukan Direct Licensing Code of Conduct, yang secara normatif mewajibkan lembaga kolektif seperti Australasian Performing Right Association and Australasian Mechanical Copyright Owners Society (APRA AMCOS) untuk :

  1. Menyediakan informasi yang jelas dan mudah dipahami tentang opsi direct licensing.
  2. Mencantumkan prosedur negosiasi dan hak-hak pencipta dalam dokumentasi publik.
  3. Menjamin transparansi dan akuntabilitas proses lisensi. Kode etik ini bukan hanya menjamin hak ekonomi pencipta, tetapi juga mendorong efisiensi pasar melalui persaingan yang sehat antara lisensi kolektif dan lisensi langsung.

Asia

Sementara itu, di Asia, penerapan direct license lebih bervariasi. Di Jepang, JASRAC menjadi lembaga manajemen kolektif terbesar, namun artis independen dapat memberikan lisensi langsung kepada platform streaming internasional, khususnya dalam distribusi digital. Korea Selatan memiliki pola yang serupa melalui KOMCA, tetapi perusahaan hiburan besar seperti HYBE atau SM Entertainment kerap mengatur direct license dengan platform global, termasuk Spotify dan Apple Music. Di India, keberadaan IPRS sebagai lembaga manajemen kolektif tidak menutup kemungkinan dilakukannya direct license, karena Undang-Undang Hak Cipta India (Copyright Act 1957 yang diamandemen 2012) mengizinkan hal tersebut. Hal ini banyak dipraktikkan di industri film Bollywood, di mana produser film secara langsung memberikan lisensi kepada layanan streaming seperti Netflix atau Amazon Prime.

Kesimpulan

Berdasarkan sistem yang berlaku dan diatur saat ini di Indonesia adalah sistem kolektif (Blanket Licensing) dimana pengguna dapat menggunakan ciptaan tanpa izin dari pencipta dengan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (”LMK”) dan untuk mendapatkan hak ekonominya pencipta diwajibkan menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (”LMK”) agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial yang diatur pada Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta. Dalam hal ini, penarikan royalti langsung dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta kepada Pengguna (Direct Licensing) merupakan suatu praktik di luar mekanisme yang diatur oleh hukum Indonesia dan dapat dianggap berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik. Namun, tidak menutup kemungkinan Direct Licensing dapat diberlakukan di Indonesia di kemudian hari sepanjang adanya perubahan Undang-Undang Hak Cipta beserta peraturan-peraturan di bawahnya yang mengatur secara eksplisit terkait hal tersebut agar mendapat kepastian hukum.

Selain itu, jika dilihat dari perbandingan beberapa negara tersebut di atas bahwa direct licensing bukanlah pembangkangan terhadap sistem kolektif, melainkan pelengkap yang sah dan legal untuk memperluas pilihan hukum bagi para pemilik hak cipta. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdiferensiasi, fleksibilitas ini justru kunci untuk menjaga ekosistem musik tetap relevan, adil, dan berkelanjutan. 

Artikel ini ditulis oleh Dr. Belinda Rosalina, S.H., LL.M., Managing Partner AMR PARTNERSHIP

Referensi

¹Poin 5 Halaman 3 Dasar dan Alasan Gugatan Penggugat yang tercantum dalam Putusan

²Ibid

³Berita Hari ini,”Direct License Artinya Apa? Ini Hubungannya dengan Hak Cipta Lagu“, kumparan.com, tanggal 01 September 2025, https://kumparan.com/berita-hari-ini/direct-license-artinya-apa-ini-hubungannya-dengan-hak-cipta-lagu-24kvX0KNQz1

⁴CNN Indonesia,“Perbedaan Bayar Royalti Musik secara Langsung dan Kolektif”, cnnindonesia.com, tanggal 03 September 2025, https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20240110010738-227-1047425/perbedaan-bayar-royalti-musik-secara-langsung-dan-kolektif 

⁵Sahala T.P. Sihombing, Novizal Kristianto, “Telaah Penggunaan Lagu Ciptaan dalam Putusan Agnes Mo vs Ari Bias”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/telaah-penggunaan-lagu-ciptaan-dalam-putusan-agnes-mo-vs-ari-bias-lt67b434f44b7cf/?page=all

⁶Putti Zahra Dwi Athifah Wilyadi dan Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., Skripsi : Akibat Hukum Perjanjian Lisensi terhadap Pihak Ketiga yang Berindikasi pada Perbuatan Melawan Hukum Ditinjau dari Segi Keperdataan (Analisis Putusan Nomor 4/Pdt.Sus-HKI/2019/PN.Smg jo. Putusan Nomor 882.K/Pdt.Sus-HKI/2019), (Depok : FHUI, 2024), Hal 8.

⁷Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

⁸Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

⁹Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹⁰Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹¹Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹²Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹³Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹⁴Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹⁵Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

¹⁶Riandra Dirkareshza, “Dinamika Masalah Direct Licensing Musik di Indonesia”, hukumonline.com, tanggal 01 September 2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/dinamika-masalah-direct-licensing-musik-di-indonesia-lt681b96bd8bc15/

Latest articles